PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 13 TAHUN 1999
TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap
mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang,
khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia;
c. bahwa untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini
diperlukan identifikasi berdasarkan uji tosikologi dengan penentuan nilai akut dan atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan beracun (Lembaran Megara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815);
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.
Mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan atau uji karakteristik dan atau uji toksikologi"
2. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :
(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi:
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
seperti tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
(3) Uji karakteristik limbah B3 meliputi;
a. mudah meledak; b. mudah terbakar; c. bersifat reaktif; d. beracun; e. menyebabkan infeksi, dan f. bersifat korosif.
(4) Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik. (5) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D222, dan D223 dapat dinyatakan
limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan atau uji toksikologi".
3. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
(1) Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I,
Tabel 2 Peraturan Pemerintah ini, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan atau ayat (4) maka limbah tersebut merupakan limbah B3.
(2) Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran I, Tabel 2 Peraturan
Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daftar tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab, apabila dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut bukan limbah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis, lembaga penelitian terkait dan berhasil limbah.
(3) Pembuktian secara ilmuiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
c. Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan perencanaan dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
akan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lembaga penelitian terkait.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 190
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
UMUM Kegiatan pembangunan bertujuan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat yang dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka panjang yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hiddup rakyat, dan di lain pihak industri itu juga akan menghasilkan limbah. Di antara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut terdapat limbah bahan berbahaya beracun (limbah B3). Untuk mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 diperlukan uji karakteristik dan uji toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi karakterisasi limbah atas sifat-sifat mudah meledak dan atau mudah terbakar dan atau bersifat reaktif, dan atau beracun dan atau menyebabkan infeksi, dan atau bersifat korosif. Sedangkan uji toksikologi digunakan untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah. Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengetahui hubungan dosis-respon antara limbah dengan kematian hewan uji untuk menetapkan nilai LD50. Sedangkan sifat kronis limbah B3 ditentukan hewan dengan cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat dalam limbah dengan menggunakan metodologi tertentu. Apabila suatu limbah tak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, lolos uji karakteristik limbah B3, lolos uji LD50, dan tidak bersifat kronis maka limbah tersebut bukan limbah B3, namun pengelolaannya harus memenuhi ketentuan. Limbah B3 yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat resiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah B3 yang dihasilkan dan mencegah masuknya limbah B3 dari luar Wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993. Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3 yang dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, dan pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa pihak yang masing-masing merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3, yaitu : a. Penghasil Limbah B3; b. Pengumpul Limbah B3; c. Pengangkut Limbah B3; d. Pemanfaat Limbah B3; e. Pengolah Limbah B3; f. Penimbun Limbah B3. Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai siklus perjalanan limbah b3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai perlu diatur, sedangkan perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan sistem manifest berupa dokumen limbah B3. Dengan sistem manifest dapat diketahui berupa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang telah dimasukkan ke dalam proses pengelolaan dan penimbunan tahap akhir yang telah memiliki persyaratan lingkungan. Dalam melakukan pengelolaan limbah B3 perlu diperhatikan hirarki pengelolaan limbah B3 antara lain dengan mengupayakan reduksi pada sumber, pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan digunakannya teknologi bersih. Bilamana masih dihasilkan limbah B3 maka diupayakan pemanfaatan limbah B3. Pemanfaatan limbah B3, yang mencakup kegiatan daur ulang (recycling) perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan satu mata rantai penting dalam pengelolaan limbah B3. Dengan teknologi pemanfaatan limbah B3 di satu pihak dapat dikurangi jumlah limbah B3 sehingga biaya pengolahan limbah B3 juga dapat ditekan dan di lain pihak akan dapat meningkatkan kemanfaatan bahan baku. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam. PASAL DEMI PASAL Pasal I
Langkah pertama yang dilakukan dalam pengelolaan limbah B3
adalah mengidentifikasikan limbah dari penghasil tersebut apakah termasuk limbah B3 atau tidak.
Mengidentifikasikan limbah ini akan memudahkan pihak penghasil,
pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, atau penimbun dalam mengenali limbah B3 tersebut sedini mungkin.
Mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 dilakukan melalui
Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3
sebagaimanan pada Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, dan apabila cocok dengan daftar jenis limbah B3 tersebut, maka limbah tersebut termasuk limbah B3;
Apabila tidak cocok dengan daftar jenis limbah B3
sebagaimana pada Lampiran I Peraturan Pemerintah ini maka diperiksa apakah limbah tersebut memiliki karakteristik : mudah meledak, dan atau mudah terbakar, dan atau beracun, dan atau bersifat reaktif, dan atau menyebabkan infeksi, dan atau bersifat korosif.
Apabila kedua tahapan tersebut sudah dilakukan dan tidak
memenuhi ketentuan limbah B3, maka dilakukan uji toksikologi.
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah
B3 yang pada umumnya berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi (inhibitor korosi), pelarutan kerak, pengemasan, dan lain-lain.
Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa
proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah.
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan,
bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, karena tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan kembali, maka suatu produk menjadi limbah
pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadaluarsa.
Pengujian karakteristik limbah dilakukan sebelum limbah
tersebut mendapat perlakuan pengolahan. Limbah diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila memenuhi salah satu atau lebih karakteristik limbah B3.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada
suhu dan tekanan, standar (25? C, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya.
Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang
mempunyai salah satu sifat-sifat sebagai berikut :
Limbah yang berupa cairan yang mengandung
alkohol kurang dati 24% volume dan atau pada titik nyala tidak lebih dari 60? (140?F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg.
Limbah yang bukan berupa cairan, yang pada
temperatur dan tekanan standar (25?C, 760 mmHg) dapat mudah menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus.
Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah-limbah
yang mempunyai salah satu sifat-sifat sebagai berikut:
Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil
dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air.
Limbah yang apabila bercampur dengan air
berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau
beracun dalam jumlah yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Amoniak yang pada kondisi pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
bereaksi pada suhu dan tekanan standar (25?C, 760 mmHg).
Limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
Limbah beracun adalah limbah yang mengandung
pencemaran yang bersifat racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
Penentuan sifat racun untuk identifikasi limbah ini
dapat menggunakan baku mutu konsentrasi TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) pencemar organik dan anorganik dalam limbah sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini.
Apabila limbah mengandung salah satu pencemar
yang terdapat dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari nilai dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, maka limbah tersebut merupakan limbah B3. Bila nilai konsentrasi zat
pencemar lebih kecil dari nilai ambang batas pada Lampiran II Peraturan Pemerintah ini maka dilakukan uji toksikologi.
Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh
manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan dan masyarakat di sekitar lokasi pembuangan limbah.
Limbah bersifat korosif adalah limbah yang
mempunyai salah satu sifat sebagai berikut:
Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit.
lempeng baja (SAE 1020) dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengna temperatur pengujian 55?C.
Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk
limbah bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati
untuk mengukur hubungan dosis-respons antara limbah dengan kematian hewan uji, untuk menetapkan nilai LD50.
Yang dimaksud dengan LD50 (Lethal Dose Fifty) adalah dosis
limbah yang menghasilkan 50% respons kematian pada populasi hewan uji. Nilai tersebut diperoleh dari analisis data secara grafis dan atau statistik terhadap hasil uji hayati tersebut. Metodologi dan cara penentuan nilai LD50 ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.
Apabila nilai LD50 secara oral lebih besar dari 50 mg/kg
berat badan, maka terhadap limbah yang mengandung salah satu zat pencemar pada Lampiran III Peraturan Pemerintah ini dilakukan evaluasi sifat kronis.
Sifat kronis limbah (toksik, mutagenik, karsinogenik,
teralogenik dan lain-lain) ditentukan dengan cara mencocokkan zat pencemar yang ada dalam limbah tersebut dengan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini. Apabila limbah tersebut mengandung salah satu dan atau lebih zat pencemar yang terdapat dalam Lampiran III Peraturan Pemerintah ini, maka limbah tersebut merupakan limbah B3 setelah mempertimbangkan faktor-faktor di bawah ini :
1) Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar; 2) Konsentrasi dari zat pencemar; 3) Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke
lingkungan bilamana tidak dikelola dengan baik;
4) Sifat persisten zat pencemar atau produk degradasi
5) Potensi dari zat pencemar atau turunan/degradasi
produk senyawa toksik untuk berubah menjadi tidak berbahaya;
6) Tingkat dimana zat pencemar atau produk degradasi zat
7) Jenis limbah yang tidak dikelola sesuai ketentuan yang
ada yang berpotensi mencemari lingkungan;
8) Jumlah limbah yang dihasilkan pada satu tempat atau
secara regional atau secara nasional berjumlah besar;
lingkungan akibat pembuangan limbah yang mengandung zat pencemar pada lokasi yang tidak memenuhi persyaratan;
10) Kebijaksanaan yang diambil oleh instansi Pemerintah
lainnya atau program peraturan perundang-undangan lainnya berdasarkan dampak pada kesehatan dan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah atau zat pencemarnya;
11) Faktor-faktor lain yang dapat dipertanggungjawabkan
Metodologi untuk evaluasi Lampiran III Peraturan Pemerintah
ini ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis dan lembaga penelitian terkait.
Apabila setelah dilakukan uji penentuan toksisitas baik akut
maupun kronis dan tidak memenuhi ketentuan di atas, maka limbah tersebut dapat dinyatakan sebagai limbah non B3, dan pengelolaannya dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3910
TABEL 1. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG TIDAK SPESIFIK
DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG SPESIFIK
DAFTAR LIMBAH DARI BAHAN KIMIA KADALUARSA, TUMPAHAN, SISA
KEMASAN, ATAU BUANGAN PRODUK YANG TIDAK MEMENUHI SPESIFIKASI.
Asamasetat, garam-garamnya dan ester-esternya
BAKU MUTU TCLP ZAT PENCEMAR DALAM LIMBAH UNTUK PENENTUAN
DAFTAR ZAT PENCEMAR DALAM LIMBAH YANG BERSIFAT KRONIS
Any congenor polychlorinated dibenzo-furan
Any congenor polychlorinated dibenzo-p-dioxin
Bis(pentamethylene)-thiuram tetrasulfide
Cyanides (soluble salt & complexes), NOS*
Ethylenebisdithiocarbamic acid, salts & esters
Heptachlor Epoxide (alpha,beta,& gamma isomers)
Nitrogen mustard, N-oxide, hydrochloride salt
Pottasium-n-hydroxymethyl-n-methyl-dithiocarbamate
Selenium, tetrakis (dimethyldithiocarbamate)
2,3,4,6-Tetrachlorophenol, potassium salt
Warfarin salt, pada konsentrasi lebih kecil
Warfarin salt, pada konsentrasi lebih besar
Zine phosphide, pada konsentrasi lebih besar
Zine phosphide, pada konsentrasi lebih kecil
Singkatan NOS (not otherwise specificd) menunjukkan bahwa anggota dari kelompok tersebut tidak terdaftar dengan nama secara spesifik dalam Lampiran III
Corriere del Trentino Mercoledì 19 Febbraio 2014 Trento e Provincia Capoluogo La riqualificazione è stata affidata agli architetti Gennaro e Visintini, con la collaborazione di Juan Gabriel La MalfaTRENTO — Due palazzine moderne, la pri-ma (residenziale) affacciata sul parco SantaChiara e l’altra (destinata a negozi e uffici) suvia San Giovanni Bosco. In mezzo, una «stri-